Musim semi di Korea baru saja dimulai, udara begitu segar dan langit
cerah bertabur awan tipis yang bergerak manja. Bunga-bunga mulai
bermekaran satu-satu seperti hendak menciptakan suatu harmonisisasi alam
yang begitu damai.
Tak seperti kebanyakan orang
yang menyambut musim semi dengan segala keceriaan dan bertabur acara
penyambutan yang luar biasa, gadis kecil itu justru melamun didekat
jendela kamarnya, seakan melupakan segala keindahan dan pesona Tulip Festival, atau Cherry Blossom Festival
di Sintanjin,Yeouido dan di Danau Daecheonghosu yang sering dikatakan
banyak orang bahwa pada saat itu Korea menjadi negara seribu bunga
Rasanya semua orang akan mengatakan kata yang sama Hangukeboom gyejeol, musim semi di Korea. Matanya nanar memandang jauh keluarjendela.
Berkali-kali
ayahnya menyuruhnya untuk makan, tetapi rasa lapar itu tak juga memaksa
sang gadis untuk menyantap makanan yang telah disediakan oleh
pembantunya yang diletakkan di atas meja dekat tempat tidurnya. Wajahnya
sendu, ada bulir-bulir kristal yang perlahan menganak sungai di pipinya
yang putih.
Sesaat gadis itu tersadar dari lamunan panjangnya, ia
menyeret kakinya menuju tempat tidur. Hari ini ia merasa lelah, bisa
dikatakan juga kesal dengan segala keadaan yang terjadi dalam hidupnya.
Sering kali hatinya bertanya mengapa Tuhan begitu kejam menyingkirkan
keindahan dalam hidupnya. Padahal permintaannya hanya kecil, ia hanya
ingin sekali lagi saja mengecap keindahan seperti yang dulu walau
mungkin keindahan ini pun hanya sesaat. Tetapi semua itu hanya mimpi
yang tak mungkin terkabul. Gadis kecil itu menguap dan tertidur dengan
mata sembab.
***
Pagi yang cerah dengan langit
biru yang begitu anggun menggantung di langit Korea.Musim semi kali ini
adalah musim semi terbaik yang pernah aku rasakan. Seperti banyak
keluarga lain di kota ini, aku dan keluarga kecilku juga ikut merasakan
kebahagian menyambutnya. Sudah tradisi dalam tiap musim semi, biasanya
banyak keluarga yang berbondong-bondong menikmatinya. Musim ini adalah
musim piknik keluarga bagi masyarakat Korea, tak terkecuali keluargaku.
Keluargaku
memilih piknik ke Sintanjin, karena kami memang tinggal di kota ini.
Liburan hemat dengan tidak jauh-jauh dari rumah. Tepatnya di depan KT & G Building
perusahaan rokok dan gingseng terbesar di Korea Selatan tujuan liburan
kami kali ini. Ketika kami datang, peduduk setempat sudah banyak yang
berdatangan dengan keluarga mereka. Ayah telah menggelar tikar, ibu
mempersiapkan makanan, sementara aku asik menikmati keindahan bunga
Cherry. Aku berlari kecil menikmati terowongan panjang yang ditanami 100
batang pohon Cherry yang berjejer rapi.
“Omma, adakah yang paling indah dari musim semi ketika semua bunga bermekaran” tanya gadis kecil itu pada ibunya
Dibelainya rambut gadis kecilnya penuh sayang, seraya tersenyum dan menjawab pertanya ananaknya “Bagi ibu kaulah yang terindah”
“Benarkah?”
“Benar sayang” jawab sang ibu sambil mencium keningnya
“Kalau menurut Appa, kebahagian itu seperti apa? Gantian gadis kecil itu bertanya pada ayahnya
“Kebahagian bagi ayah adalah memiliki kalian dan melihat kalian bahagia”
“Bagiku
kalian adalah cinta yang tak tergantikan dengan apa pun. Cinta sejati
yang lahir dari kebersamaan keluarga ini. Cinta dimana tidak ada batas
penghalang. Saat ini cinta ini kian tumbuh menyertaiku” kemudian gadis
kecil itu memeluk ayah dan ibunya secara bergantian
Matahari
mulai naik, keluarga Kim Shue merayakan musim semi tahun itu penuh
dengan kegembiraan. Santap siang diawali dengan tradisi minum teh mereka
lakukan. Sesekali mereka tertawa dan saling bercengkrama. Ternyata
pilihan piknik keluarga kali ini tidaklah buruk, banyak keindahan yang
bisa memanjakkan mata ketika melihat bunga-bunga bermekaran. Bertemu dan
saling sapa dengan orang-orang yang juga piknik disini. Anak-anak riang
bermain dengan sesamanya. Sesekali terlihat sepasang muda-mudi yang
berjalan bergandengan tangan seolah dunia adalah milikmereka sendiri.
***
Musim
semi kali ini sungguh hal yang membuatku sangat terpukul, bagaimana
tidak, ibu yang selama ini aku anggap sebagai perempuan terkuat yang
pernah aku kenal, perempuan yang tak kenal rasa sakit, perempuan yang
selama dalam hidupnya selalu menjaga kebersihan. Bahkan kepadaku pun ibu
selalu cerewet hanya gara-gara bajuku terkena noda setelah aku bermain,
meskipun hanya sedikit noda. Aku harus berusaha tegar menerima
kenyataan, baru saja kemarin kami menikmati piknik bersama menikmati
keindahan musim semi, tetapi siang ini ketika aku masih sekolah,
tiba-tiba paman Heujung menjemputku. Lantas membawaku ketempat terkutuk
ini, tempatnya orang-orang sakit. Dan ibuku saat ini terbaring lemah,
selang infus telah menusuk kulit tangannya yang lembut.
Berkali-kaliaku
bertanya pada ayah tentang kenapa dan sakit apa yang tiba-tiba
menyerang ibu. Ayah hanya berkata ibu baik-baik saja dan akan kembali
kerumah secepatnya.Tetapi hari demi hari sampai musim semi hampir
berakhir kondisi ibu tidak semakin baik. Berkali-kali ibu mengigau tanpa
aku atau ayah mengerti apa yangibu ucapkan. Mata ibu terbelalak suatu
ketika, seperti melihat sesuatu dan tubuhnya bergetar hebat. Aku sendiri
menggigil melihat keadaan ibu seperti itu,tanpa terasa ada bulir-bulir
hangat yang keluar dari ekor mataku. Ayah begitutegar menghadapi ini
semua, meskipun aku tahu hati ayah juga menangis.
Aku
menangis memeluk ibu, tubuhnya dingin. Nafasnya sedikit teratur dan
mencoba menatap aku dan ayah secara bergantian. Airmatanya menetes
deras, tangannya bergerak perlahan menunjuk kearah selang nafas yang
menutupi mulutnya. Ayah dengan cepat membantu ibu melepaskan selang
nafas dari mulut ibu.
Tiba-tiba dengan lirih ibu berujar kepadaku “Kim Soyou, jadi anak yang baik yah”
Hatiku
tertohok sembilu, perih rasanya mendengar apa yang barusan ibu
ucapkan.Tiba-tiba saja hidungku tersumbat dan aku tak mampu menahan
gemuruh yang begitu dahsyat hadir di dadaku.
“Ayah,ikhlaskan aku pergi yah”
“Waeyo,
jangan ngomong seperti itu? Apa kau tidak sayang sama aku? Ingat anak
kita masih kecil, masih ingin dibesarkan dan dimanja oleh kita berdua”
bibir ayah bergetar saat mengucapkan kata Waeyo, panggilan sayang
seorang suami terhadap istrinya.
Ah,ayah. Matanya
semerah saga. Suaranya serak seperti orang yang terkena radang parah
saat mengucapkan semuanya kepada ibu. Aku tak mampu lagi membendung
airmata. Ibu menatapku dan ayah tajam, butiran kristal luruh satu-satu
dari bening matanya.
“Ibu sayang kalian. Kalian adalah
cintaku. Apa pun yang terjadi kalian adalah belahan jiwaku. Sungguh ibu
tidak tahan dengan keadaan seperti ini, musim semikali ini bagiku adalah
yang paling indah dan paling membekas dalam hatiku, jadi
mungkin.....................” suara ibu tersendat dan terbata-bata
seperti ada benda berat yang menutup pita suaranya.
Aku
merasa ketakutan, aku belum siap kehilangan orang yang paling kucintai.
Aku tidak tahu hidupku nantinya bila tidak ada ibu yang menemani
hari-hariku. Aku masih ingin mengecap keindahan bersama ibu, belum puas
rasanya aku dimanja olehnya atau nanti aku akan begitu rindu dengan
omelan-omelannya yang menegurku bila aku tidak menuruti nasihatnya. Ah
ibu, benarkah telapak kakimu ada surga? Bila memang benar ada, ingin
rasanya saat ini juga aku memasukinya dan menemui tuhan serta memohon
agar tuhan tidak memanggil ibu cepat-cepat. Dan ayah,meskipun beliau
laki-laki yang tegar tetapi aku yakin perasaannya tidak jauh berbeda
denganku saat ini. Sama-sama tidak mau kehilangan orang yang telah
menemani hidupnya, kehilangan orang yang sangat dicintainya.
Tuhan, sungguh aku belum ikhlas menerima semua ini.
***
Senja
baru saja menyapa Korea, gadis kecil itu menoleh keluar ruangan lewat
jendela rumahnya. Satu dua bunga Cherry dan Mongalia gugur. Matanya
nanar memandang langit merah saga. Sesekali dia terseyum memandang
langit. Dalam khayalannya, dia menemukan sketsa wajah yang lama dia
rindukan. Sketsa wajah itu tersenyum memperlihatkan gigi-gigi putihnya
yang rata, senyum terindah yang pernah ditemukan sebelumnya. Sekejap
senyumnya hilang bersama hilangnya sketsa wajah yang dia lihat di langit
senja yang mulai menghitam. Hari telah berganti,tetapi gadis itu masih
saja betah berdiri di pinggir jendela kamarnya. Dia menikmati sentuhan
angin musim semi yang membelai lembut wajahnya dan memainkan ekor
rambutnya yang panjang.
Diatas sana, langit Korea menghitam meski
seluruh lampu warna-warni menyala dikota itu, bintang-bintang
bersembunyi enggan menampakkan kerlipnya dan rembulan mungkin menggigil
kedinginan sebab matahari tak membagi sinarnya. Dilihatnya diluar
jendela sana, dalam imanjinasinya, bunga-bunga cherry kembali berguguran
secara serentak yang menandakan musim semi telah berakhir. Sama seperti
dulu ketika ibunya pergi meninggalkannnya dalam kesendirian. Terkadang
dia bertanya,masihkah ada harapan buatnya? Masihkah dentum bunga-bunga
musim semi kelak akan memberikan kebahagiannya lagi?. Malas memikirkan
itu semua gadis itu beranjak menuju ke pembaringannya, dia berharap
mimpi yang indah dan selamanya tak ingin terbangun dari mimpinya itu.
Aku
tidak pernah lagi mau peduli dengan yang namanya musim semi dengan
segala keindahannya. Bagiku musim semi tahun ini atau musim semi
tahun-tahun berikutnya adalah sama yaitu kesepian. Kesepiany ang meraja,
tidak ada lagi kasih sayang yang tercurah kepadaku meskipun kasihs
ayang ayah yang diberikan kepadaku adalah kasih yang terbaik dan tanpa
batas,tetapi bagiku masih kurang tanpa kasih sayang seorang ibu.
***
Kenalkan
namaku Kim Soyou, lahir di tengah keluarga kecil yang bahagia, ah tidak
juga,tepatnya bahagia itu ternyata terenggut dariku ketika aku berumur
10 tahun. Karena Omma yang telah melahirkanku ke dunia ini pergi
selamanya di penghujung musim semi yang indah. Appa akhirnya bercerita
tentang penyebab kematian ibuku waktuitu. Ayah mengatakan ibu terkena
kanker otak stadium empat, kanker itu telah menyebar dan ibu tidak bisa
diselamatkan. Belakang aku baru menyadari tentang mengapa ibu sering
sekali mengeluh tentang sakit kepala. Hampir tiap hari ibu merasa
pusing, tetapi tiap kali ibu ditanya ayah atau aku mengapa sering sakit
kepala, ibu selalu bilang ia tidak apa-apa. Ternyata tidak. Sakit kepala
yangibu rasakan berkali-kali itu adalah cikal bakal kanker yang pada
akhrinya merenggut jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar