Tamu Kejutan
Langit cerah di kotaku.
Matahari meraja dengan sinarnya. Minggu yang indah. Aku mengunjungi rumah Emak
sekaligus melihat kondisi keponakanku yang sedang sakit. Alhamdulillah sakitnya
berkurang. Siang terus merambat pasti bersama waktu yang kian menjadikan
matahari meninggi tepat di atas kepala. Adzhan dhuhur sebentar lagi
berkumandang. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan bunyi handphone tanda ada yang
memanggil. Ternyata istriku. Istriku bilang bahwa ada tamu seorang ibu-ibu
mencariku. Aneh, sejak kapan aku berkenalan dengan ibu-ibu. Istriku bilang, ibu
itu cerita bahwa aku dulu sering makan siang di rumahnya. Aku memutar memori
otakku, mencari-cari file yang mungkin berisi sepenggal cerita masa lalu saat
aku sering berkunjung kerumah teman-temanku. Nihil. Agaknya panas siang ini
membuat otakku mencair hingga aku tak bisa mengingat hal itu. Dengan cepat aku
menjawab bahwa aku akan pulang sebentar lagi.
Wanita berumur sekitar
lima puluh tahunan itu duduk di ruang tamu ditemani istri dan mertuaku. Mengenakan
kerudung putih dan berbaju gamis hijau muda. Kerutan di wajahnya menandakan
bahwa dia sedang lelah. Wanita itu ibu dari seorang temanku. Dulu ketika masih
sekolah menengah aku memang sering berkunjung kerumahnya. Silaturahim itu terus
terjaga hingga kini, meski kini aku jarang sekali bisa mengunjunginya. Wanita paruh
baya ini memiliki empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Ketiga anaknya
sudah menikah kecuali anak laki-lakinya yang bungsu. Dengan cepat aku
menyalaminya, sekaligus mengucapkan maaf lahir batin karena saat ini masih
nuansa syawal dan kebetulan juga aku belum sempat berkunjung kerumahnya lebaran
ini. Cepat kusalami tangan beliau.
Sambil beramah tamah,
aku dan istriku mengajaknya untuk makan siang bersama kami. Tetapi dengan sopan
dia menolak ajakan kami. Sesekali dia menyeruput teh hangat yang telah
dihidangkan sebelumnya oleh istriku. Tanpa basa-basi sang ibu menyeritakan
maksud kedatangannya ke rumah mertuaku siang ini. Dia bermaksud untuk meminjam
sejumlah uang denganku. Hatiku ngenes. Peluh meluncur dengan bebas dari dahiku.
Bila membicarakan soal uang, aku selalu tak bisa menjawab.
Si Reza (sebut saja
begitu namanya) anak bungsunya yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di
salah satu pondok pesantren yang banyak menelurkan orang-orang hebat di negeri
ini, juga tempat salah satusetting cerita sebuah novel yang menyeritakan
perjuangan seorang anak kampung dari ranah minang yang ingin menaklukkan dunia,
tepatnya pondok pesantren itu berada di Jawa Timur. Saat ini anak bungsunya itu
sedang membutuhkan biaya untuk bayar angsuran. Uang yang ada di sang ibu masih
belum cukup untuk menutupi biaya yang harus dikirimkan untuk anak bungsunya
itu. Ingin meminta kepada anak-anaknya yang lain, beliau berkata bahwa menantu anak keduanya kemarin baru saja melahirkan dengan cara Caesar hingga
mengeluarkan banyak biaya, dengan anak pertamanya dia enggan meminta tanpa alasan
yang jelas dan yang terakhir dengan anaknya ketiga yaitu anak perempuan
satu-satunya dia bilang tidak tega meminta dengan anaknya itu.
Hatiku pilu. Perjuangan
seorang ibu demi menyekolahkan anak-anaknya, dia rela kesana kemari untuk
mencukupi kebutuhan sang anak. Seorang ibu rela mengorbankan harga dirinya
untuk bisa membahagiakan sang anak. Seorang ibu mampu mengeyampingkan rasa malu
hanya demi anaknya. Seorang ibu juga rela berjalan kaki dari rumahnya menuju
tempat dimana dia meminta bantuan. Ah, aku selalu menangis mengingat perjuangan
seorang ibu. Entah siapa pun orang itu, yang penting dia seorang ibu yang
memperjuangkan anak-anaknya, maka aku pasti menangis mendengarkan ceritanya. Seorang
ibu yang tidak mau merepotkan anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Ibu temanku itu memohon
untuk bisa pinjam sejumlah uang kepadaku. Uang pinjamannya itu akan dilunasinya
setelah suaminya mendapatkan gaji pensiun. Ah, aku bimbang antara member atau
tidak memberikan pinjaman kepadanya. Akhirnya
dengan berat hati aku berkata padanya bahwa aku tidak bisa meminjamkan uang. Kondisiku
saat ini pun tidak mempunyai uang yang bisa digunakan untuk meminjamkan orang
lain. Bila pun ada, uang itu guna keperluan keluarga kecilku selama sebulan. Berat
sebenarnya harus kukatakan hal itu padanya. Jujur aku tidak tega melihat rona
wajahnya yang tiba-tiba seperti diselimuti mendung, meski seutas senyum masih
menghias di wajahnya.
Dengan lirih akhirnya
ibu temanku itu memohon untuk bisa diantarkan pulang ke rumahnya. Aku yakin dia
kecewa denganku. Harapannya dari rumah menemuiku tidak terkabul. Aku mengantarkannya
pulang dengan mengendari sepeda motorku. Selama diperjalanan ibu temanku itu
menceritakan banyak hal. Ah aku serba salah harus menceritakan apa padanya. Dia
juga menitip pesan, jangan sampai anaknya yang nomor satu tahu bahwa ibunya
pergi menemuiku hendak meminjam uang. Sesampainya di rumah teman ibuku aku
langsung pamit. Aku salami tangannya dengan takjim dan sambil aku selipkan uang
yang tidak seberapa padanya. Aku hanya bilang, ibu ini uang aku kasih buat ibu,
bukan ibu pinjam. Ibu temanku hendak menolak pemberianku itu, tetapi tetap aku
memaksa agar menerima. Gelembung kecil air matanya menggantung, senyum kecil
nan bahagia itu mengembang sambil mengucapkan terima kasih padaku. Aku pamit
dengan mengucapkan salam.
Kotabumi, 18 agustus
2013
Ya Allah berikanlah
rejeki terbaik buat seluruh ibu yang memperjuangkan hidup anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar